mas template
mas template
Home » » Anak Wong Deso Menggapai Matahari

Anak Wong Deso Menggapai Matahari

Written By Unknown on Jumat, 11 Maret 2016 | 22.45



Judul Buku : Anak Lumpur Menggapai Matahari
Penulis : K.H. Junaedi al-Baghdadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 192 Halaman
Cetakan : Pertama, 2014
ISBN : 978-602-03-0353-6

AWALNYA judul buku ini menjawil perhatian, ketika saya melongok sejumlah bacaan yang tertata rapi pada rak dengan cap ”Buku Baru” di salah satu toko buku favorit di Surabaya, tahun kemarin. Utamanya lantaran terselip kata ”lumpur” dalam rangkaian titelnya. Seketika pikiran teringat masalah lumpur Lapindo yang seakan tak kunjung beres, kesannya timbul-tenggelam hanya sebagai pemberitaan media selama ini. Kabar paling buncit menjelang pemerintahan SBY lengser, pemerintah yang bakal menanggung sisa ganti rugi oleh perusahaan Bakrie itu.

Terpikirkan karya ini mengisahkan sekelumit nestapa berkepanjangan yang mungkin dialami penulisnya, selaku bagian korban semburan lumpur yang memang kerap memantik keprihatinan banyak pihak yang masih waras. Apalagi, tertulis pengarangnya berpredikat kiai, lengkap dengan gambar sosoknya yang bersahaja di sampul luar. Sementara, dulu sempat beredar kabar dari mulut ke mulut, lumpur Lapindo juga menenggelamkan pesantren binaan seorang kiai berpengaruh, serta masjid kuno peninggalan zaman Londo di sekitarnya.

Imbuhan stiker bercorak medali bertera ”Rekor MURI Buku dengan Harga Jual Tertinggi Saat Launching” yang menghiasi cover pustaka ini, semakin menggelitik rasa ingin tahu. Mengingat, tak sedikit literatur yang bandrolnya sampai mendekati angka dengan lima nol belakang, saat dilepas ke pasaran terdahulu. Karena itu, akhirnya saya menyangkingnya pulang, guna menemukan jawaban atas gejolak penasaran. Tentu usai saya membayarnya dengan potongan dua puluh persen di kasir.


Kala mulai menyingkap awal-awal lembarannya, kisah yang tertoreh sedikit berbeda. Rupanya cerita yang tersaji di dalamnya, samasekali tidak berhubungan dengan muntahan lumpur di Porong bertahun-tahun terakhir. Melainkan, frase ”lumpur” yang dimaksud hanyalah tanah becek galibnya sehabis turun hujan deras. Kosakata aslinya ”cellot” yang sudah jamak dalam rumpun bahasa Madura pada umumnya. Bagian habitat yang melingkupi warga udik. Oalaaah...

Walau begitu, dugaan saya tidak meleset sepenuhnya. Buku ini menyampaikan liku-liku kehidupan lampau penulisnya yang memang seringkali berlumur lumpur. Baik dalam arti denotasi maupun konotasinya. Tepatnya ketika masa kecil si empu hikayat senantiasa berbecek ria dalam lumpur sawah. Dengan secercah percaya yang tak pernah lekang, ia pun tak kenal payah terus berupaya mentas dari kubangan lumpur kemiskinan yang serasa membelit setiap langkahnya.

Membaca novel biografi setebal dua ratusan halaman ini, akan membangkitkan ingatan kembali pada dinamika sosial wilayah pedalaman. Khususnya daerah tapal kuda, Jawa Timur, sebelum abad milenium. Waktu itu, kehidupan sebagian besar masyarakatnya jeblok di bawah taraf kesejahteraan. Upaya pemenuhan kebutuhan dasar juga cenderung selalu mengandalkan cara-cara amat tradisional. Infrastruktur semisal listrik pun belum ternikmati, hanya lampu teplok yang setia menemani berbagi terang di setiap rumah.

Fakta macam itu menimpa pula kebanyakan lapisan sosial akar rumput dusun Krasak, desa Ajung, kecamatan Jenggawah, kabupaten Jember; tempat kelahiran si penulis. Ia sendiri terlahir dan besar dalam keluarga yang serbakekurangan materi. Ayahnya hanya buruh tani, sedangkan ibunya buruh gudang tembakau. Itu pun tak ubahnya pekerjaan musiman. Bisa dibayangkan penghasilan orangtuanya sangat tidak memadahi, untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokok berikut keperluan sekolahnya. Meski dirinya anak semata wayang.

Rumahnya boleh dibilang jauh dari kesan nyaman. Asupan pangannya tidak mencerminkan standar kesehatan. Ia bersama ayah-ibunya kerap makan hanya dengan nasi berlauk-pauk sambal (lazimnya garam dan cabe rawit belaka). Ia juga tak jarang makan di rumah kerabatnya yang kondisi ekonominya sedikit lebih baik. Apalagi, sandangnya termasuk seragam belajarnya terkesan ala kadarnya. Ia sempat ditegur gurunya karena tidak memakai sepatu ke sekolah.

Jumaadi demikian namanya sewaktu kanak-kanak, bahkan ikut berupaya mencari penghasilan sendiri, guna meringankan beban orangtuanya yang menurutnya sudah menderita bukan kepalang. Mulai dari ikhtiarnya berjualan es lilin keliling, menjajakan jemblem dagangan bibinya, hingga menjual biji pinang sebagai persiapan meneruskan pendidikannya setamat jenjang SD nanti. Ia pun tidak gengsi mengikuti ibunya ngasak (memulung) butiran padi sisa panen di sawah milik orang-orang agar bisa tetap makan.

Namun, ia pantang menyerah. Apapun deraan kesulitan yang dahsyat membelit diri beserta keluarganya, ia tetap yakin bahwa Tuhan pasti akan meluangkan kesempatan baginya untuk meraih impian. Sebagaimana ayahnya sering mencurahkan wejangan berimbuh teladan sikap tawakal. Bukan sebatas pasrah bongkokan. Ditambah tempaan character building dan spiritualitas keagamaan dari para gurunya. Pada gilirannya, ia senantiasa melakoni titian nasib zaman bocahnya dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh.

Dari sini, torehan pena ini serasa hendak pula mengingatkan kembali tentang spirit otentik wong ndeso, sekaligus karakteristik penduduk Nusantara yang seolah kian pudar tergerus modernitas hedon. Semangat yang bersumber dari kesadaran total, betapa segala kekurangan (ekonomi) bukanlah alasan untuk memupus harapan kegemilangan esok.

Gelora embusan keyakinan yang lantas mengejewantah pula dalam tindakan, bahwa di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Optimisme mengenai keberhasilan bukan monopoli segelintir orang, tapi hak siapa pun yang berkemauan. Sementara, ketika telah mencapai kesuksesan, tetap rendah hati terhadap sesama dengan mengedepankan kebersahajaan.

Rerata wong ndeso terutama sepanjang kurun latar tempo kisah dalam buku ini, dikenal sebagai kaum pekerja keras. Hampir setiap waktu yang tersedia, mereka nikmati untuk makaryo segenap daya. Bagi mereka, hidup adalah perjuangan disertai pengabdian yang tulus, ke arah terwujudnya mimpi dan kebahagiaan hakiki. Tak semata asa dan ketenteraman pribadi, namun juga cita-cita dan kesentosaan bersama. Kendati hanya dengan sarana maupun prasarana seadanya, bahkan tanpa ditopang fasilitas apapun. Seperti motto yang melekat pada jatidiri Om Dahlan Iskan dan kemudian menjadi jargon pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sekarang. Kerja kerja kerja...

Lebih dari itu, wong ndeso secara umum aslinya dikaruniai potensi unik dalam mengatasi kesumpekan. Di antaranya, selera humor yang maknyus. Mereka selalu punya cara tersendiri melumerkan kebuntuan, tanpa harus terlalu beringsang larut dalam kekalutan yang hanya akan menghilangkan keceriaan. Justru mereka begitu enjoy menyikapi keterbatasan sebagai bahan menertawakan diri sendiri. Tak heran, bila lantas mereka cenderung ditandai keteguhan lelaku yang berbalut kesederhanaan, ketulusan, dan keikhlasan.

Gambaran demikian kiranya bisa diresapi pada gaya penulisan novel ini yang sengaja disajikan apa adanya. Pengisahannya begitu mengalir sesuai dengan karakteristik masing-masing tokohnya, membersitkan kepolosan warga perkampungan terpencil, serta dunia kanak-kanak. Bahkan, sempat dikisahkan cuplikan insiden berantem lazimnya para bocah yang menggelikan, dengan penyelesaian yang tak kalah mengocok perut.

Jauh lebih menghibur ketimbang perselisihan di antara wakil rakyat sejauh ini. Serangkaian dialognya juga nyaris masih bercitarasa Madura yang di-Indonesia-kan. Para sedulur yang belum terbiasa menyesap sajian literasi model begini, bisa jadi merasa monoton dan kudu pelan-pelan selama menyimaknya. Namun, dengan begitu cetusan pengalaman ini justru benar-benar akan dinikmati pembaca hingga tuntas.

Selebihnya, perlu disyukuri ketika semakin bermunculan para figur teladan, yang berani mengambil pilihan tetap memertahankan spirit otentik wong ndeso di abad kekinian. Mereka yang selain telah membuktikan guratan prestasi dan raihan kesuksesan hari ini, juga ikut urun mendedikasikan diri untuk kemajuan bangsa dan negara. Berbekal tekad menggapai matahari bekerja keras dan cerdas, menggiatkan perubahan menemu pencerahan.

Laksana petikan syair lagu Suci dalam Debu besutan musisi asal negeri Jiran era 90an, yang dikutip pula dalam buku nyentrik ini beberapa kali: debu jadi permata, hina jadi mulia. Sama halnya dengan penulisnya yang semula hanya ”anak lumpur”, kemudian berganti predikat KH Junaedi al-Baghdadi yang berbagi inspirasi dan berkhidmat sebagai Pengasuh Pesantren Al-Baghdadi di Rengas Dengklok, Karawang, Jawa Barat, kini.

0 komentar :

mas template

PERTANIAN