AWALNYA tayangan ini telah
bermasalah dan menuai protes segenap kalangan dulu. Di antaranya karena ceritanya
dinilai tidak sesuai dengan bagian sejarah Islam (kerajaan) di Turki lampau.
KPI juga pernah melayangkan teguran. Namun, tontonan berseri keluaran ANTV ini
kemudian tayang kembali, setelah dianggap telah memenuhi arahan perubahan.
Apalagi kalau bukan serial King Suleiman yang berganti label Abad
Kejayaan selanjutnya.
Saya pun sempat
menulis catatan mengenai siaran televisi itu sebelumnya. Ketika beberapa
episodenya yang kebetulan saya tonton belakangan, mencomot dalil Alquran dengan
penafsiran yang terasa masih ada missing
link dalam aplikasinya. Lalu, saya menulis koreksi dalam catatan
lain berjudul Tafsir Buram Alquran dalam Fiksi Abad Kejayaan sebelumnya. Meski
ditegaskan bahwa serial ini hanyalah fiksi berlatar sejarah (kerajaan Ottoman),
tapi kiranya tidak menggugurkan perlunya sikap kritis dalam mencermatinya lebih
seksama. Layaknya pengawasan masyarakat terhadap program acara layar kaca yang
lain.
Lepas dari itu,
masih tersisa unek-unek
dalam benak tentang serial malam hari tersebut. Utamanya berkenaan dengan
berbagai dramatik sepanjang kisahnya. Betapa rangkaian lakonnya sarat dengan
suguhan intrik. Alurnya yang dipertontonkan terkesan cukup gencar, melebihi
sepak terjang kaum elit pemerintahan dan parpol yang bisa diresapi hanya dari
berita selama ini. Biasanya kita terbatas mereka-reka geliat politik sekalian
politisi, dengan mengikuti rentetan peristiwa yang diberitakan media. Kendati
bukan mustahil tidak berbeda jauh pada kenyataannya. Namun, selama menyaksikan
tayangan ini pemirsa amat merasakannya secara langsung dengan gamblang.
Cuplikan berbagai
konspirasi dengan kemasan perebutan kekuasaan yang terus berlangsung silih
berganti di dalamnya, juga berlumur kebencian, hasutan, fitnah, kedengkian dan
sebagainya. Tak jarang pula secara terang-terangan di hadapan pemirsa. Bermula
dari kompetisi pengaruh antara kedua istri raja di lingkungan istana.
Persaingan keduanya pun kemudian berkembang menjadi silang-sengkarut
pertikaian, dengan menyeret keterlibatan para saudara kaisar, hingga banyak
tokoh pendukung masing-masing pihak lainnya.
Tentunya kemelut
antarorang dalam istana demikian cenderung selalu disertai adegan kekerasan.
Sebab, tokoh-tokoh yang berkepentingan semula melalui kaki tangan
masing-masing, ditampilkan pula melakukan tindakan anarkis demi pelampiasan
ambisi. Entah anarkisme yang sifatnya pembunuhan karakter, maupun kontak fisik.
Bahkan, pada episode mutakhir antartokoh sendiri yang terlibat langsung. Mulai
dari saling melancarkan ancaman verbal, penganiayaan, hingga upaya penghilangan
nyawa yang tak memedulikan lagi ikatan keluarga dan kekerabatan.
Drama yang penuh
dengan intrik keji, aksi kekerasan, pertumpahan darah memang bukan hal baru,
dalam narasi histori banyak kerajaan di tanah air tempo dulu sekalipun. Tentu
kita pernah membaca atau mendengar perjalanan sejarah keraton-keraton yang
diwarnai perang saudara berdarah-darah, dari berbagai referensi tertulis maupun
cerita tutur sejauh ini. Namun, tak bisa ditampik pula ketika rekaman peristiwa
macam itu diramu sebagai tontonan beraudio-visual terlebih dengan penampilan
secara blak-blakan, akan berdampak yang tidak positif sepenuhnya bagi khalayak
pemirsa.
Visualisasi adegan
berikut dialog jelas akan menjadi lebih kuat mengguratkan kesan termasuk
menyampaikan pesan, sebagaimana kemudian terkemas dalam sinema televisi yang
tersiar di ruang publik, dibandingkan penyampaian kisah melalui tulisan.
Efeknya akan lebih dahsyat lagi ketika peracikannya sedemikian rupa ditangani
orang-orang kawakan di bidangnya. Dalam hal ini, bukan hanya message keteladanan
perbuatan baik yang tersampaikan kepada pemirsa, melainkan juga unsur-unsur
kekerasan tadi yang tak kalah power full-nya.
Jadi, serial ini boleh
dibilang lebih kental terutama dengan suguhan kekerasan verbal dalam hampir setiap
episodenya. Penyuguhannya bahkan mengalir sangat runtut dan rinci, sehingga
muatannya terbilang berat untuk sebuah tontonan hiburan, yang bukan mustahil
ditonton pula oleh anak-anak walau jam tayangnya cukup malam. Sementara, upaya
sensor baru sebatas pada busana yang terbuka dan bagian tubuh yang luka atau
berdarah. Ujaran dialog yang bernada anarkis belum mendapat pencermatan
sepenuhnya.
Pada titik ini,
tampaknya KPI telah kecolongan untuk terus mengikuti program acara televisi
ini. Saat unsur-unsur kekerasan masih sesak mewarnai setiap episodenya. Karena
itu, patut mendapat koreksi seandainya ditayangkan kembali. Apalagi sebagai tontonan fiksi, bukan tidak mungkin terdapat penambahan cerita maupun angle yang menyisakan kekurangan di sana-sini. Mengingat, televisi memiliki pengaruh lumayan besar ketimbang
media lainnya. Bagaimana menurut sampean?
Sumber
Ilustrasi: JPNN
0 komentar :
Posting Komentar